Dunia kripto dulunya dikenal sebagai gerakan akar rumput yang penuh semangat terbuka (open source). Saat pertama kali muncul, teknologi seperti Bitcoin dibuat agar siapa pun bisa melihat, memeriksa, dan bahkan ikut berkontribusi pada kode programnya.
Prinsip transparansi dan keterbukaan menjadi pondasi utama yang membuat orang bisa percaya pada sistem ini, karena semuanya bisa diperiksa sendiri.
Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi kripto, muncul juga tantangan dari sisi open source. Banyak proyek baru, seperti platform smart contract dan aplikasi keuangan terdesentralisasi (DeFi), yang kodenya disalin (disebut “fork”) oleh pihak lain untuk membuat produk serupa tapi hanya mengejar keuntungan, bukan idealisme awal.
muncul banyak versi tiruan dari Uniswap dan Ethereum yang lebih fokus pada kecepatan dan biaya murah, namun kurang memprioritaskan desentralisasi.
Karena itulah, beberapa tim pengembang mulai memilih jalur berbeda, yakni mereka menutup akses ke kode sumber mereka (closed source). Tujuannya adalah melindungi desain dan menghindari penyalahgunaan oleh peretas atau pesaing. Dengan membuat kode lebih sulit dianalisis, mereka berharap bisa mengurangi risiko diserang.
Tapi cara ini juga menuai kritik. Banyak yang menyebutnya “keamanan melalui kerahasiaan”, yaitu bukan karena sistemnya benar-benar aman, tapi hanya karena kelemahannya disembunyikan.
Pendekatan tertutup ini dianggap bertentangan dengan semangat awal dunia kripto, yang menjunjung tinggi keterbukaan, transparansi, dan kontrol dari komunitas, bukan dari segelintir orang saja. Apa yang dulu dimulai oleh para “cypherpunk” dan penggemar kebebasan digital, kini mulai berubah menjadi sistem yang justru mirip dengan institusi keuangan tradisional yang dulu ingin mereka lawan.
Kasus Loopscale di Solana: Bukti Bahwa Open Source Masih Dibutuhkan
Contoh nyata dari risiko sistem tertutup terjadi pada 26 April lalu. Platform peminjaman DeFi bernama Loopscale, yang berjalan di jaringan Solana, mengalami peretasan besar.
Padahal platform ini baru saja diluncurkan beberapa minggu sebelumnya, dan sistemnya menggunakan kode tertutup. Akibat serangan itu, sekitar USD5,8 juta dana pengguna berhasil dicuri.
Peretas dilaporkan memanipulasi aturan jaminan (collateral) di dalam sistem, sehingga bisa mengambil pinjaman yang seharusnya tidak memenuhi syarat. Dana yang ada pun terkuras.
Untungnya, tim Loopscale berhasil melakukan negosiasi dengan peretas untuk mengembalikan sebagian besar dana. Tapi insiden ini tetap memunculkan pertanyaan besar: apakah sistem tertutup benar-benar lebih aman?
Menurut seorang insinyur dari firma riset Solana bernama Anza, sistem tertutup justru berbahaya karena pengguna harus percaya begitu saja kepada tim pengembang. Kalau kode tidak bisa diperiksa publik, bagaimana bisa pengguna yakin bahwa sistem itu aman? Ia juga menyebut bahwa dompet dan protokol DeFi tertutup adalah salah satu kelemahan utama jaringan Solana.
Data dari DefiLlama menunjukkan bahwa pada awalnya, Solana memang lebih banyak diisi oleh proyek-proyek tertutup. Namun sejak akhir 2021, proyek open source mulai tumbuh dan kini justru mendominasi. Pada akhir April 2025, sekitar 90% dari total nilai yang terkunci (total value locked) di DeFi Solana berasal dari proyek yang kode sumbernya terbuka.
Open Source dengan Audit jadi Jalan Tengah
Max Kaplan, Chief Technology Officer dari Sol Strategies, menekankan bahwa jalan terbaik untuk keamanan dan kepercayaan adalah kombinasi antara open source dan audit.
“Dengan menjaga kode tetap terbuka, diaudit oleh pihak ketiga, dan menawarkan hadiah bagi orang yang menemukan celah keamanan (bug bounty), maka akan lebih banyak mata yang mengawasi dan membantu memperbaiki. Ini jauh lebih baik dibanding menyembunyikan celah,” ujar Kaplan/
Menruutnya, dunia kripto memang sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, open source bisa mempercepat inovasi dan memperkuat kepercayaan.
Di sisi lain, tantangan keamanan dan kompetisi membuat beberapa pihak tergoda menutup kode mereka. Namun seperti yang ditunjukkan oleh kasus Loopscale, keterbukaan justru bisa menjadi tameng terbaik bukan kelemahan.