Jakarta, 13 Mei 2025 — Stablecoin terbesar di dunia, Tether (USDT), resmi mencatatkan tonggak baru dalam dunia keuangan digital dengan kapitalisasi pasar melebihi USD 150 miliar atau sekitar Rp2,4 kuadriliun untuk pertama kalinya pada 12 Mei 2025. Angka ini menandai lonjakan lebih dari 36% dalam pasokan beredar dalam setahun terakhir, terutama setelah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS pada November 2024.
Mengacu pada data CoinMarketCap, Tether kini menguasai 61% pangsa pasar stablecoin global, disusul oleh USDC (Circle) yang memegang hampir 25% pangsa pasar.
Lonjakan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Data dari Dune dan Artemis menunjukkan jumlah dompet aktif stablecoin meningkat dari 19,6 juta menjadi 30 juta, atau naik lebih dari 50% dalam 12 bulan terakhir. Hal ini mencerminkan pergeseran global menuju adopsi fiat digital, termasuk dalam penggunaan komersial dan lintas negara.
Ekspansi Strategis Tether ke Amerika Serikat
Meski kehadiran Tether terbatas di AS karena regulasi yang ketat, perusahaan berencana meluncurkan stablecoin domestik baru berbasis dolar AS pada akhir 2025.
“Stablecoin domestik akan berbeda dari stablecoin internasional,” ujar Paolo Ardoino, CEO Tether, dalam konferensi Token2049 di Dubai.
Tether juga tengah meningkatkan lobi politik di Washington, di tengah pembahasan RUU penting seperti UU STABLE yang diajukan oleh Ketua Komite Layanan Keuangan DPR AS French Hill dan Ketua Subkomite Aset Digital Bryan Steil.
Dampak di Indonesia dan Dunia Bisnis
Fenomena ini tidak hanya dirasakan global, tapi juga mulai merambah dunia usaha Indonesia. CEO dan Founder TRIV, Gabriel Rey, menyebutkan bahwa banyak pengusaha Indonesia—terutama di sektor ekspor-impor—telah mengadopsi stablecoin seperti USDT untuk transaksi lintas negara.
“Teman-teman pengusaha saya sudah tidak pakai bank lagi. Mereka pakai stablecoin karena biayanya murah dan prosesnya cepat,” jelas Rey dalam acara Cryptalk with TRIV (29 April 2025).
Sejak 2024, pengusaha di Indonesia telah diberikan lampu hijau untuk mencantumkan aset kripto di neraca keuangan perusahaan, membuka peluang untuk capital gain sekaligus perencanaan pajak yang strategis.
Bahkan dalam praktiknya, supplier dari China, Hong Kong, hingga Inggris telah terbiasa menerima stablecoin sebagai alat pembayaran utama, mempercepat proses dan mengurangi biaya operasional.
“Perusahaan yang enggan beradaptasi dengan tren ini akan berisiko tertinggal dalam kompetisi pasar global,” tegas Rey.
Kesimpulan
Dengan pertumbuhan masif dalam adopsi dan kapitalisasi, stablecoin—terutama USDT—telah berevolusi dari sekadar alat tukar digital menjadi pilar utama dalam infrastruktur keuangan modern, baik untuk negara, institusi, maupun pelaku usaha skala global. Di tengah tantangan regulasi, tren ini tampaknya akan terus berkembang dalam waktu dekat, mendorong lahirnya ekosistem keuangan yang lebih cepat, murah, dan inklusif.