Bitcoin semakin menarik perhatian investor global dan mulai dianggap sebagai alternatif tempat berlindung yang menjanjikan di tengah ketidakstabilan kondisi makroekonomi dunia. Ketidakpastian yang terjadi di Amerika Serikat, ditambah dengan melonjaknya imbal hasil obligasi di berbagai negara, kini menjadi alasan utama bagi penguatan Bitcoin ke depan.
Imbal hasil obligasi jangka panjang, khususnya tenor 30 tahun, mengalami lonjakan di berbagai belahan dunia akibat kekhawatiran terhadap kebijakan fiskal yang agresif, memanasnya tensi perdagangan internasional, serta inflasi yang tak kunjung mereda. Situasi ini mencerminkan tingginya premi risiko yang kini dituntut investor untuk memegang surat utang pemerintah berjangka panjang.
Mengacu pada data Refinitiv per 23 Mei 2025, imbal hasil obligasi 30 tahun secara year to date telah meningkat masing-masing sebesar 5,18% di AS, 7,13% di Inggris, 19,9% di Jerman, dan 33,26% di Jepang.
Kenaikan imbal hasil ini memberikan dampak besar terhadap biaya pinjaman, pergerakan pasar saham, serta arus modal lintas negara.
Beberapa faktor utama yang mendorong peningkatan imbal hasil obligasi antara lain:
- Kebijakan Fiskal yang Meluas: Pemerintah di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang, menjalankan kebijakan belanja besar yang memperbesar defisit anggaran, sehingga menimbulkan kekhawatiran atas keberlangsungan utang publik.
- Ketegangan Perdagangan Global: Perselisihan dagang, khususnya yang melibatkan AS dan mitra dagangnya, meningkatkan ketidakpastian ekonomi dan membuat investor meminta imbal hasil lebih tinggi.
- Inflasi yang Berkelanjutan: Inflasi yang tetap tinggi menimbulkan kekhawatiran bahwa bank sentral akan menahan suku bunga tinggi dalam jangka panjang, yang mendorong naiknya imbal hasil obligasi.
CNBC International melaporkan bahwa percepatan penjualan obligasi global dipicu oleh penurunan peringkat kredit Amerika Serikat oleh Moody’s, serta rencana pajak dari Presiden AS Donald Trump yang mengundang kekhawatiran investor mengenai kondisi fiskal.
Menurut Rong Ren Goh, Manajer Portofolio Pendapatan Tetap dari Eastspring Investments, kejadian seperti penurunan peringkat kredit atau kebijakan fiskal yang memperbesar defisit membuat para investor mengalihkan perhatian pada risiko fiskal jangka panjang dan melakukan evaluasi ulang atas eksposur mereka.
Trump, yang gagal meyakinkan anggota Partai Republik yang menolak rancangan undang-undang pajaknya, diperkirakan akan menambah beban utang AS sebesar US$ 3 triliun hingga US$ 5 triliun. Hal ini disebut-sebut sebagai salah satu pemicu hancurnya pasar obligasi global.
“Pasar tampaknya sama sekali tidak menganggap RUU pajak besar milik Trump itu sebagai sesuatu yang menggairahkan,” ujar Vishnu Varathan, Direktur Pelaksana Mizuho Securities. “US Treasury terkena tekanan hebat akibat aksi jual besar-besaran.”
Penjualan besar-besaran surat utang negara ini juga terjadi setelah keluarnya dana besar-besaran dari aset AS pada bulan April, sebagai akibat dari menurunnya kepercayaan investor terhadap pasar Amerika, menurut para analis.
Bitcoin Muncul sebagai Aset Alternatif
Bitcoin kini menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan logika aset berisiko konvensional. Alih-alih melemah saat situasi ekonomi memburuk, Bitcoin justru mengalami kenaikan.
Di tengah meningkatnya ketidakpastian global, lonjakan imbal hasil obligasi di AS dan Jepang, melambatnya pertumbuhan ekonomi, serta lemahnya kepercayaan konsumen di Amerika, Bitcoin berhasil menembus harga tertinggi baru pada 22 Mei 2025.
Fenomena ini menunjukkan pergeseran cara pandang investor terhadap risiko dan aset lindung nilai. Jika sebelumnya US Treasury dianggap sebagai aset paling aman, maka kini dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap utang dan lonjakan imbal hasil, investor mulai mencari alternatif – dan Bitcoin menjadi salah satu pilihan utama.
Ketika Amerika terus terjebak dalam siklus utang yang memburuk, dan Jepang juga berisiko mengalami hal serupa, ekonomi global tampak belum siap untuk pulih. Ironisnya, ini justru menjadi peluang bagi Bitcoin untuk bersinar.
Secara teori, kenaikan imbal hasil seharusnya menekan harga aset berisiko. Namun kini baik saham maupun Bitcoin justru terus menguat. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya pergeseran strategi investasi, di mana kepercayaan terhadap sistem keuangan tradisional mulai terkikis, sehingga aset alternatif seperti Bitcoin menjadi pilihan.
Menariknya, jika dibandingkan dengan saham-saham AS, semakin banyak institusi keuangan yang memilih Bitcoin. Seperti dikutip dari The Kobeissi Letter, sebanyak 38% investor institusi memiliki posisi underweight di saham AS per awal Mei, level terendah sejak Mei 2023 berdasarkan data Bank of America.