Liputan6.com, Jakarta – Harga kripto teratas, Bitcoin terpantau mulai goyang. Harga Bitcoin bergerak turun meski sempat menembus angka tertinggi USD 112.000 pekan lalu.
Analis Tokocrypto Fyqieh Fachrur melihat, koreksi harga Bitcoin di pertengahan pekan ini menjadi sekitar USD 107.000-109.000 atau setara Rp 1,74 – 1,75 miliar. Ini menandakan pergerakan menjelang masa-masa kritis pada Juni.
“Hal ini memicu gelombang aksi ambil untung oleh para trader, yang menyebabkan tekanan jual jangka pendek. RSI 14-hari saat ini berada di level 65,44—menunjukkan momentum netral dan membuka ruang konsolidasi lebih lanjut,” kata Fyqieh dalam keterangannya, Minggu (1/6/2025).
RSI merupakan kependekan dari Relative Strength Index, yaitu indikator teknikal yang digunakan untuk mengukur kekuatan tren dan potensi pembalikan arah harga suatu aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan lainnya.
Mengutip data on-chain, Fyqieh menyampaikan, jumlah dompet ‘whale’ atau investor besar dengan kepemilikan 1.000–10.000 BTC sempat mencapai puncaknya di 2.021 pada 25 Mei, tetapi menurun drastis ke 2.003 hanya dua hari setelahnya.
Penurunan ini menunjukkan aksi ambil untung setelah lonjakan harga, sekaligus memperbesar risiko volatilitas jangka pendek.
Menurutnya, saat ini Bitcoin berada dalam zona kritis konsolidasi. Risiko teknikal seperti death cross masih membayangi, tapi selama support kuat tidak ditembus, peluang untuk reli lanjutan tetap ada. Terutama jika didukung oleh data ekonomi atau sentimen pasar yang positif.
“Selama BTC mampu bertahan di atas USD 107.000, peluang untuk menguji ulang USD 109.000 tetap terbuka. Jika tekanan jual berlanjut dan support utama di USD 104.670 ditembus, koreksi lebih dalam bisa terjadi. Tapi secara struktur, tren jangka menengah masih positif. potensi pengujian ulang ke area USD 110.700–USD 112.000 tetap terbuka,” terangnya.
Fyqieh menyebutkan, pelaku pasar kripto akan mengarahkan perhatiannya kepada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang dijadwalkan pada 17–18 Juni 2025 mendatang. Menuju waktu tersebut, volatilitas harga kripto, termasuk Bitcoin dibayang-bayangi prediksi kebijakan yang akan diputuskan nantinya.
Hingga saat itu, pasar kemungkinan tetap bergejolak seiring investor menimbang risiko stagflasi dan potensi perubahan suku bunga. Dalam kondisi seperti ini, investor institusi sering memanfaatkan volatilitas untuk redistribusi aset melalui strategi manajemen ekspektasi.
“Bulan Juni biasanya menjadi titik rawan, di mana tekanan dari ketidakpastian makro dan aksi arbitrase waktu oleh institusi bisa memicu koreksi tajam. Investor perlu memperkuat manajemen risiko dan disiplin dalam pengambilan posisi,” terang Fyqieh.