Harga Ethereum (ETH) akhirnya naik lagi di atas US$ 1.700 setelah 16 hari mengalami tekanan jual. Tekanan ini dipicu oleh kondisi ekonomi global yang tidak menentu dan aktivitas transaksi di jaringan Ethereum yang menurun tajam. Mesti harga pulih, performa ETH sepanjang tahun ini masih kalah jauh dengan yakni 23 persen lebih buruk dibandingkan rata-rata altcoin lainnya.
Melansir dari cointelegraph.com, beberapa trader masih yakin bahwa ETH akan mengalami kenaikan besar yang disebut sebagai “generasi bull run”. Mereka percaya Ethereum punya keunggulan karena menawarkan sistem keuangan yang benar-benar terbuka dan tidak dikendalikan oleh pihak tertentu.
Berbeda dengan pesaing seperti Solana, Tron dan BNB yang sudah mencetak rekor harga baru di tahun 2025, Ethereum justru belum berhasil melewati harga tertinggi sebelumnya. Hal ini membuat sebagian orang mulai ragu dengan kekuatan Ethereum saat ini.
Peralihan Ethereum dari sistem proof-of-work ke proof-of-stake juga menuai kritik. Meski lebih ramah lingkungan dan hemat energi, langkah ini dinilai menghilangkan keunggulan kompetitif yang dulu dimiliki Ethereum.
Aktivitas Sepi, Biaya Transaksi Turun
Salah satu tanda melemahnya minat pasar terhadap ETH adalah penurunan biaya transaksi di jaringan Ethereum. Sejak Januari, biaya ini turun hingga 95 persen. Penurunan ini menunjukkan bahwa tidak banyak orang yang menggunakan jaringan Ethereum untuk mengirim data atau menjalankan aplikasi.
Karena aktivitasnya rendah, mekanisme pembakaran koin tidak lagi cukup kuat untuk mengimbangi jumlah ETH baru yang dikeluarkan sebagai hadiah staking. Akibatnya, ETH justru mengalami inflasi.
Meskipun Ethereum masih memimpin dalam hal Total Value Locked (TVL), metrik ini ternyata tidak banyak menarik perhatian trader. Banyak yang menganggap dominasi TVL belum terbukti dapat meningkatkan permintaan atau harga ETF secara langsung.
Di sisi lain, perhatian pasar kini beralih ke ETF. Saat ini, hanya Bitcoin dan Ethereum yang punya ETF Spot resmi di Amerika. Namun jika ETF untuk Solana dan XRP disetujui, bisa jadi minat investor institusi terhadap ETH akan berkurang.
Faktanya, antara 21 hingga 23 April, ETF Ethereum justru mencatat arus keluar sebesar US$ 10 juta. Sebaliknya, ETF Bitcoin malah mendapat arus masuk dalam jumlah besar.
Sejarah Tidak Berpihak
Jika melihat sejarah harga ETH, pola yang sama terus berulang: naik cepat, lalu turun tajam. Misalnya pada tahun 2022 dan 2021, ETH sempat melonjak dalam waktu singkat, tapi kemudian jatuh dalam hitungan minggu. Banyak trader yang akhirnya kapok dan memilih ambil untung lebih cepat, yang justru membatasi potensi kenaikan harga lebih lanjut.
Meskipun banyak pihak berharap pada Ethereum, baik untuk NFT, kecerdasan buatan, hingga tokenisasi aset dunia nyata (RWA), belum ada satu pun faktor yang benar-benar mampu mendorong permintaan ETH secara konsisten.
Beberapa analis bahkan memperkirakan ETH masih bisa turun 15 persen lagi dibandingkan Bitcoin.